JAKARTA  --  Penggunaan media sosial seperti Twitter dan Facebook telah mengubah dialog demokratik di Indonesia khususnya dapat meningkatkan diskusi politik dan negara-negara lain bisa belajar dari pengalaman Indonesia.

"Kita bisa saling belajar, politisi dan masyarakat Indonesia memanfaatkan media sosial untuk berkampanye dan mengembangkan demokrasi sebagai sistem politik yang baru di negara ini," kata Duta Besar Denmark untuk Indonesia, Casper Klynge di Jakarta, Selasa (16/6).

Casper Klynge mengatakan sebaliknya Denmark yang sudah jauh lebih dulu menerapkan sistem demokrasi, belum banyak memanfaatkan media sosial untuk kegiatan politik.

Belum lama ini Denmark memperingati 100 tahun persamaan hak politik bagi perempuan di negara tersebut, menggambarkan bahwa demokrasi sudah berjalan lama.

Klynge tiba di Indonesia untuk menjalankan tugas sebagai duta besar setelah proses Pilpres 2014 di Indonesia selesai, dan mengamati proses demokrasi yang yang menurutnya sudah berjalan baik.

Anggota Dewan Pers Nezar Patria memaparkan hasil riset tersebut yang mencatat terdapat 1.800.000 akun Twitter yang aktif menggunggah cuitan selama proses Pilpres 2014.

Riset dilakukan melalui penelusuran dengan mesin artificial intelligence yang menyaring 50.286 akun individu sebagai contoh untuk melihat demografi dan kecenderungan pilihan mereka.

Secara umum "cuitan" tentang Jokowi lebih unggul dibanding tentang Prabowo dan cenderung lebih mendukung Jokowi-Kalla (50,66 persen) dibanding pasangan Prabowo-Hatta (41,68 persen). "Realitasnya mendekati hasil akhir dari perhitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum," katanya.

Para netizen memanfaatkan Twitter secara monolog untuk menyatakan pendapat dan memanfaatkan media sosial untuk mengolok kandidat yang tidak didukung.

"Twitter sebagai media dialog politik belum dimanfaatkan dalam kerangka nalar dan kepentingan publik, melainkan lebih untuk kepentingan perseteruan."

Post a Comment

 
Top